Pantas Saja Ibu Risma Menutup Lokalisasi di Surabaya [Dijamin Bikin Sobat Tercengang!]

Tempat lokalisasi sering kali menjadi kontroversi, di sisi moral dan agama tentunya kita sangat menentang adanya lokalisasi dalam sebuah kawasan. Namun di satu sisi banyak pihak yang mendukung dengan alasan-alasan tertentu lewat kemasan logika yang membuat kita mengamini logika-logika pendukung adanya lokalisasi.

                              13914227371779481087

Berikut transkrip isi dialog antara Ibu Risma dengan Najwa Shihab di acara Mata Najwa tanggal 12 Februari 2014, seperti yang ditulis ilmuperpus.wordpress.com berikut ini:

Najwa: Bu Risma, salah satu kebijakan Anda (menutup lokalisasi di Surabaya) yang kini menjadi begitu kontroversi karena banyak yang protes... dan yang protes bukan hanya mereka yang kena dampaknya langsung, tetapi orang yang melihat bahwa menutup lokalisasi itu bukan hanya menyelesaikan masalah, namun malah menambah masalah baru, ibu?

Bu Risma:  Ya awalnya saya juga berpikir gitu, jadi itu adalah awal perjalanan panjang saya, kemudian saya menetapkan hal itu.

Pada awal-awal saya menjabat walikota, saya didatangi 20 orang kiai. Nah kemudian saya sampaikan saat itu “Pak kiai, saya belum bisa memberikan makan semua orang itu”. Kemudian mereka bilang “Bagaimana, Bu Wali?” Kemudian saya bilang; “Mereka kan harus memberikan makan kepada keluarganya.”

Di situ, kemudian media sempet menulis, saya masih punya dokumennya, “Gubernur Setuju Menutup Tempat Lokalisasi, Walikota Menolak”. Saya masih punya itu dokumen itu.

Kemudian dari sana itu, sekali lagi, saya mungkin mengikuti hati saya. Itu saya ditunjukan oleh Tuhan. Pertama awalnya kasus perdagangan anak. Pertama satu kasus, saya telusuri, tidak mungkin sesuatu terjadi pada anak itu kalau dia tidak punya latar belakang, apa latar belakang dia? Latar belakangnya bisa dari sekolah, bisa dari pergaulan atau dari keluarga. Itu saya telusuri betul!

Nah kemudian saya cek keluarganya, kenapa awalnya, saya ketemu dia dulu “Kenapa begini-begini?” Kemudian saya telusuri keluarganya, kemudian saya telusuri sekolahnya, kemudian saya telusuri lingkungannya. Nah kemudian saya menemukan kasus-kasus berikutnya.

Kemudian ternyata 90% anak-anak itu punya hubungan dengan kawasan-kawasan seperti ini. Entah dia anak dari situ, orang tua di situ, entah dia pernah tinggal di situ, kemudian entah mereka masih tinggal di situ.
Nah, dari situ kemudian saya turun ke sekolah, saya ngajar mbak di sekolahan-sekolahan itu. Jadi saya punya catatan-catatan. Oh... anak ini punya di situ, sekolahnya di situ, saya turun ke sekolahan itu. Supaya itu tidak terpengaruh ke anak-anak yang lain.

Najwa:  Apa yang anda temukan di sekolahan itu?

Bu Risma: Nah, dari situ saya bisa melihat awalnya, oke yang paling berat itu yang paling dekat dengan kawasan lokalisasi paling terkenal di Surabaya.

Najwa: Dolly?

Bu Risma: Iya…. 1 jam biasanya anak-anak itu. Setelah saya ajak ngomong, anak itu nangis mbak, ngeluh, sampai mereka mau curhat ke saya itu antri, kadang sampe 10 orang. Mereka curhat kepada saya, cerita tentang keluarganya, masalahnya, tentang apapun pergaulannya, mereka cerita ke saya.

Saya bawa (ke tempat) psikologi kalau ke sekolah itu minimal 5 orang. Nah kemudian anak-anak saya tampung, saya peluk, setelah itu saya kumpulkan, saya selalu minta ruangan, lalu mereka ditangani psikolog.

Nah, ada 1 tempat yang di kawasan itu tadi. Saya satu jam itu orang kayak... kayak kosong sama sekali anak-anak itu. Satu jam mereka tidak tersentuh omongan saya... Dua jam saya hampir frustasi... “Ya Tuhan apa ini yang terjadi?”. Begitu saya ngomong pingsan itu satu anak “plek”, pingsan lagi “plek, plek, plek, plek”, pingsan, sampe 20 anak pingsan!

Sampai saya panggil dokter lah, karena pingsan saya juga takut, kan...

Najwa: *Najwa melihat miris*

Bu Risma: (melanjutkan kisahnya) Saya bawa ke ruangan... Aduh ceritanya... Rasanya saya waktu itu sudah mau nyerah. (cerita sudah selesai)

Najwa: Apa ibu ceritanya sampai Ibu Risma yang sebegini keras bisa sampai menyerah itu mendengarkan apa? (sambil merinding)

Bu Risma: (tersenyum miris, hening) Saya tidak tega ngomongnya... (ibu resmi tersedu sambil mengusap mata) Tidak tega saya (sambil terisak)

Najwa:  Kaitannya dengan prostitusi yang mereka dipaksa? Atau kaitannya dengan keluarga?

Bu Risma: Ya dua-duanya (sambil terisak, kemudian hening)

Najwa: Ibu tidak pernah mendengar...

Bu Risma: Mereka masih SMP-SMA (sambil terisak dan menutup mata)

(hening beberapa detik, Ibu Risma melihat keatas dengan mata terkaca-kaca)

Najwa: Itu yang kemudian membuat ibu mengubah sikap dari semula...

Bu Risma: Ndak, ndak juga. Setelah itu saya kumpulkan... mucikari-mucikari dan PSK di rumah saya di bulan puasa. Saya biasanya bulan puasa saya buka puasa di tempat warga, gitu... Tapi kali itu saya undang mereka...

Dan pada waktu pertama kali saya ketemu mereka, ada 1 orang sudah tua. Saya juga kaget, sudah tua kok masih jadi PSK gitu. Dia ngomong “Sebenarnya saya ingin berubah, tapi janji pemerintah bohong, katanya saya mau diberi ini-ini, tapi ternyata bohong semua.”; ”Baik bu, saya besok akan datang ke tempat ibu.”

Besoknya saya ke sana, pagi-pagi sekali jam 7 saya datang ke sana. Dia tinggal di tepi rel, rumahnya kurang lebih 2×2, dari bangunan sesek begitu...

Terus saya tanya “Ibu kenapa?”. “Ini saya punya usaha utang dari rentenir.”; “Berapa utangnya ibu? Saya akan bayar.” Terus habis itu dia cerita lagi “Bu, saya ingin ini.” “Oke, saya akan bantu.” (sambil mengusap air mata)

Terus sudah selesai saya ajak dia masuk ke dalam, “Saya ingin ngobrol dengan ibu sendiri.” Saya masuk ke dalam kamarnya, ruangannya itu separuh untuk jualan, jadi 2×2 itu separuhnya untuk dia tidur.

Saya tanya ke dia “Ibu, maaf ya bu, kalau ibu tersinggung. Saya juga ingin tahu, saya mohon maaf sekali kalau ibu tersinggung, dan mohon maaf sekali kalau saya salah.”

Nah terus saya tanya di situ “Bu…. ibu sekian tahun, ibu umur berapa jadi PSK?” Dia sampaikan, 19 tahun...

“Ibu sekian tahun jadi PSK, kenapa ibu nggak bisa nabung? Kenapa saat ibu sudah selesai?”... Ibu itu kurang lebih usianya 60 tahun.

Najwa: 60 tahun masih jadi PSK itu? Usia 60 tahun? (kaget)

Bu Risma: Iya. (menjawab miris) Kemudian dia sampaikan, bahwa selama ini uang yang dia pakai habis untuk beli baju, habis untuk beli make up... kemudian yaa... seperti itu... Hingga dia tua, dia tidak punya anak.

Kemudian saya tanya lagi itu “Bu, mohon maaf ya, sekali lagi saya mohon maaf kalau saya salah... Ibu sudah sepuh begini... terus siapa pelanggannya?” (kemudian hening)

Itu kemudian yang membuat saya tergerak, mungkin itu Tuhan yang membukakan saya begitu.

Najwa: Siapa bu pelanggan PSK berusia 60 tahun?

Bu Risma: Anak SD, SMP...

Najwa: Anak SD? (Najwa kaget)

Bu Risma: Karena dia punya uangnya seribu, dua ribu, dia terima uangnya.

Najwa:  Pelanggan PSK anak SD ibu? Itu yang ibu dapatkan? (tanya Najwa heran, syok)

(hening lama banget, ibu Risma tak bisa berkata-kata)

Najwa: Apa yang kemudian... (tak bisa berkata-kata juga) ...ibu lakukan, setelah ibu mendengar pengakuan itu?

Bu Risma: Ya, saya kumpulkan kepala dinas, saya pamit ke keluarga saya. Kalau saya mati... menangani ini, tolong diikhlaskan... tidak boleh ada keluarga saya yang nuntut atas kematian saya.

(langsung iklan, tanpa frasa penutup dari Najwa, sepertinya langsung dipotong sama pengarahnya)



Mungkin ini adalah tamparan keras buat kita semua, yang selama ini hanya diam, hanya membaca, hanya berkomentar, hanya berdebat, tanpa melihat kondisi lapangan dan terjun ke dalamnya. Melihat kenyataan yang terjadi, mari kita bertanya kepada akal sehat kita yang masih berfungsi, apa masih mau mendukung tempat lokalisasi?

Terima kasih ibu Risma, yang telah membuka mata kami dan memberikan contoh arti kepemimpinan yang sebenarnya.

Sumber: Blognya lmu Perpustakaan: Pantas Saja Ibu Risma Menutup Lokalisasi di Surabaya

Comments

Popular Posts